19 Apr 2013

The Kampret Of Bulutangkis


Sepulang dari kampus kemarin gue dan satu orang teman gue mampir dulu ke AC (Aula Center) di kampus.  Rencananya sih Cuma mau liat – liat orang latihan bulutangkis doank. Lagian dua orang teman cewek kita ada juga yang ikut latihan di sana. Jadi, siapa tahu mereka butuh BENCONG suporter untuk teriak – teriak di pingir lapangan, sambil megang botol air mineral. 

Di dalam ruangan itu terdapat dua lapangan dengan bangku yang berjejer tidak teratur di pinggir lapangan. Sementara itu,  di lantai atas Cuma ada bangku yang terbuat dari semen dan semerbak bau pesing yang menusuk – nusuk hidung, meminta untuk dicium. Jadi, dari pada bau pesing di situ nambah, akhirnya kami duduk di kursi lantai satu, di pinggir lapangan.
 Lagian ngapain juga kita duduk di atas sana, soalnya di situ sepi, niat mau nonton,  entar malah dituduh berbuat mesum. Mendingan dituduh berbuat mesum sama cewek, ini sama cowok. Mana teman gue berkumis pula. Kalaupun dia nggak berkumis gue juga ogah. Gue malas sama yang batangan.

Untuk minggu – minggu ini mereka memang lagi giat – giatnya untuk latihan. Katanya sih lagi tahap seleksi untuk dikirim ke Banten. Mereka yang latihan ini juga akan diadu lagi sama – sama mereka. Siapa yang tepilih nanti akan mewakili kampus untuk ke sana. Gue juga nggak tahu sih,kenapa harus ke Banten. Mau latihan ilmu kebal sambil main bulutangkis..mungkin.
Di lapangan pertama,  ada anak - anak cowok yang lagi main ganda. Gue yang saat itu duduk di pinggir lapangan sebelah memutuskan untuk pindah tempat duduk. Ada sesuatu yang membuat gue tertarik. Gue duduk tepat di depan lapangan pertama. Memperhatikan dengan anggun anak – anak cowok tersebut main. Bola ke kiri mata gue melirik ke kiri, bola ke kanan mata ikut melirik ke kanan.
Tidak Cuma mainnya yang keren, anak – anak cowok ini juga jago membuat orang yang menonton di ruangan tersebut menggelinjang. Contohnya, anak – anak cewek yang latihan di lapangan yang satunya lebih sering melirik ke arah mereka main. Gue juga nggak tahu, mereka terpesona dengan permainan mereka yang ganas atau terpesona sama salah satu pemain….  yang kayanya nggak pernah nyukur bulu ketiaknya. Kalau gue sih tetap.. fokus sama paha mereka yang aduhai itu. hehe
Smash, tangkis, smash lagi, tangkis lagi. Begitu terus. Permainan – permainan apik yang mereka pertontonkan.

 Berulang kali kejadian – kejadian menegangkan itu melintas di depan mata gue. keringat para pemain berjatuhan di lapangan. Gue yang menyaksikan pertandingan dahsyat itu ikut – ikutan berkeringat. Gue jadi tegang. Gue mengepalkan tangan, mengigit bibir sendiri. Tarik nafas. Bola ke kiri mata gue kekiri, bola ke kanan mata gue fokus ke PAHA  kanan. Tarik nafas lagi.. keluarkan lagi. Dan . . . Preeet..preett..preeetttt. Gue sukses kentut di pinggir lapangan. Yeah !
Setelah sukses kentut di tengah – tengah ketegangan itu, akhirnya rasa bosan itu datang juga. Gue mulai mencari – cari kesibukan sendiri, mulai dari pindah tempat duduk, muter – muterin lapangan nggak jelas, sampai munggutin bola yang berserakan di pinggir lapangan. Tapi, tampaknya dewi fortuna sedang berpihak ke gue. Disela – sela kebosanan gue itu ternyata anak – anak cewek pada kecapean. Jadi lapangan sebelah kosong, nggak ada yang main. dengan penuh birahi, gue pinjam raket salah satu dari mereka. Teman gue yang namanya Toha juga minjam. 

“Mau pake bola baru, nggak?” Tanya pelatih mereka
“Boleh” Jawab kami semangat. Ternyata pelatihnya baik. 

Sang pelatih pun ngasih kita bola baru. Kita semakin senang..

Di lapangan, duel maut pun dimulai. Disaksikan  beberapa penonton cewek yang tidak seberapa itu. Teriakkan – teriakkan histeris mulai mengema merambat ke telinga.
Sambil megang raket gue pasang muka segahar – gaharnya. Berharap musuh gue langsung nyerah. Ternyata dia pun memasang muka yang tidak kalah gaharnya. Dan kita pun memulai pertarungan, dengan taruhan harga diri. Gue mulai menyerpis dengan operan lambung. Teman gue nggak mau kalah. Dia mulai melakukan permainan net yang cantik. Sesekali gue hampir terkecoh oleh kelicikkannya. Beruntung bakat atlit yang ada di dalam diri gue belum punah.

 Smash… tangkis.. smash lagi… tangkis lagi..

Begitulah seterusnya. Bola bergulir dari arah gue ke arah Toha. Pertarungan sengit itu benar – benar nyata. Dengan hitungan detik… gue mulai kualahan. Gue lemas… dan sukses kalah dibabak pertama.
Setelah babak ke dua dimulai lagi,  gue semakin lemas. Gue nyerah dengan skor gue 7 dan Toha 14. Keringat sudah bercucuran. Baju basah, celana dalam juga basah.
Setelah selesai main kita mau keluar gedung, mencari angin. Sebenarnya ruangan itu pakai AC sih tapi nggak berfungsi. Akhirnya kita putusin untuk keluar cari angin dan buang angin.

“Eh, kalian. Ke sini dulu” Pelatih bulutangkis itu memanggil kami.

Gue sama Toha bingung. kita saling lirik sebentar. Sebelum Toha benaran naksir sama gue akhirnya gue buru – buru memalingkan wajah gue dari Toha. 

Yang ada di kepala gue saat itu hanyalah…
Jangan – jangan kita mau diajak latihan bareng gara – gara melihat permainan gue dan Toha yang cantik.
Jangan – jangan Pak pelatih ini mau memuji ke lincahan kami bermain..
Jangan – jangan dia mulai tertarik untuk melatih kami..
Jangan – jangan Pak Pelatih ini Falling in Love sama Toha..
Jangan – jangan…..
Ah, sudahlah. Gue meyakinkan diri gue kalau Toha nggak bakalan Falling In Love juga sama Si Pelatih ini. 

“Kalian sering main bulutangkis juga?”
“Iya, Pak” Jawab kami serempak.
 “Bagus. sering - sering latihan” kata pelatih itu sambil tersenyum. “Semuanya jadi 18 ribu”

Hening..

Gue dengan Toha berpandangan.
“Jadi, bayar?” Tanya Toha heran
“Iya, donk. Bola kan beli” Jawab pelatih itu sinis.
“Ow.. yah, udah. Nggak apa – apa, kok” Gue menimpali keren, pura – pura relah. Pura – pura banyak duit. Padahal dalam hati, YAKIN LO? KITA HARUS BAYAR???
 TOLONG KAMI, KAK SETO ! KAMI DIPERAS! KAMI DIPERAS !!

Dramatis, abiss..

Bukannya pelit sih sebenarnya. Cuma karena kita lagi jauh dari orangtua aja, jadi, uang seperti itu terlihat berharga. Apalagi kalau teman gue adalah anak kos, sedangkan gue sendiri tinggal bersama saudara. Jauh dari orangtua membuat uang seribu rupiah pun terasa berarti bagi kita. Apalagi di akhir bulan.
Dulu, apapun yang ingin dibeli, selagi di dompet masih ada uang pasti langsung dibeli. Tapi sekarang, semenjak jauh dari orangtua, walaupun di dompet masih ada uang apapun yang ingin dibeli.. pasti mikir – mikir dulu.
Beli apa ngak. Kalau dibeli nanti uang bulanan nggak cukup. Kalau nggak dibeli nanti sudah dibeli orang lain. Macam – macam dilema yang akan selalu dihadapi. Entah kita yang menciptakan atau kah keadaan yang memaksa kita untuk menciptakan.

Di luar gedung kita duduk – duduk sambil minum. Beberapa anak cewek ada yang keluar duluan. Hari pun sudah sore. Pak pelatih yang mintain kita duit juga keluar dengan senyum yang mengembang. Sewaktu dia mendekati kita berdua dia sempat bilang..

“Kalian mainnya bagus… besok ikut latihan lagi yah?”
   
 “Ow.. iya.. main lagi.. besokkk”gue tersenyum kecil, demi menutupi kebohongan besar.

Tidak ada yang bisa disalahkan sih sebenarnya dari kejadian itu. seandainya pun ada Kak Seto, yang mau gue tanya Cuma satu. Kenapa presiden nggak pernah balas mention gue? udah itu aja.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mau komentar?
Boleh.. boleh.. boleh !