Di taman
ini. Sampai hari ini. Aku masih menunggunya.
Dari pekan ke pekan, dari bulan ke bulan, hingga tahun demi tahun pun terus berjalan berganti masa.
Tak ada
yang lebih membosankan daripada menunggu. Sekalipun menunggu orang yang tepat. Aku
paham itu.
Yang
anehnya, aku selalu membantah. Aku rela
menghabiskan waktu berjam – jam demi membawanya kembali dalam imajinasiku.
Merasakan kembali dia ada di sini. Di bawah pohon rindang beserta akar –
akarnya yang juga hampir sekarat tak terawat.
Kini
malam nyaris sampai kepuncaknya. Hujan belum juga redah, rintik rinainya masih
membuncah. Membasahi kepala dan menyebabkan banjir di sekelilingnya. Air yang
mengalir di aspal yang gulita seperti danau tinta, mengaburkan mata bagi yang
renta.
And I don’t want the world to see
me
Cause I don’t think that they’d
understand
When everything’s made to be
broken
I just want you to know who I am
Lagu
yang biasa kami nyanyikan, di sini. Di taman ini. Bersama – sama. Hanya
berdua.Tanpa orang ketiga. Disaksikan oleh deretan bangku taman yang indah.
Sesekali
ia memintaku untuk mendengarkan ceritanya. Menghabiskan detik demi detikku
sebagai pendengar yang baik. Aku menyukainya, karena dia pencerita yang hebat dengan
segala masalahnya.
Terkadang
ia langsung berhenti bercengkerama ketika aku membuka snack yang kami bawa. Dan
kami mulai mengabaikan percakapan – percakapan yang mesra. Mengantikan cerita
dengan makanan – makanan yang renyah,
serenyah persahabat.
Tapi itu
dulu. Sebelum butir – butir hujan menjadi teman setiaku di sini. Sekarang hanya
ada aku dan dia. Aku dan bulir – bulir lembut yang jatuh di kepalaku. Ditemani
sepi dan desahan ranting pohon yang patah.
Lima
detik lagi aku menunggu. Sebelum tubuhku kaku ditampar oleh dingin yang ngiluh.
sebelum jenuh kembali kepersingahannya. Merayuku untuk meninggalkan surga yang
tercipta.
Di sini.
Di bangku taman ini. Aku menunggu. Bersama segenap kerinduan yang kurawat. Dan
jika kau tak juga kembali, ketahuilah… aku masih di sini. Menunggu tanpa henti.
Bisa
kudengarkan derit laju kendaraan yang ada di seberang jalan. Suaranya manja. Bersama
seruan - seruan manusia lainnya.
Aku tahu
ada yang tak beres.
Aku
berdiri sambil memegang tongkat pelengkap cerita. Sedikit bingung menentukan
arah. Seperti mencari jalan yang tak ada di peta. Aku melangkah. Berpacu
melawan setia. Mengikuti hati yang bersekutu dengan tongkat sebagai mata.
“Ada
apa?” Tanyaku pada seorang saksi mata yang aku sendiri tidak tahu rupanya.
“Kecelakan” Jawabnya singkat.
Pemandangan
yang tak bisa kulihat sendiri. Semua kemungkinan bisa saja terjadi. Aku mengira
– ngira dalam hati. Aku tak ingin semuanya menjadi tidak menyenangkan.
Aku
melangkah.
Perlahan
– lahan. Mendekatkan diri ke kaca mobil yang pecah. Bisa kudengar dengan indah.
Suara tape mobil yang masih menyalah. Merayapi gendang telinga. Melelehkan hati
yang gelisa. Lagu itu. lagu kenangan yang biasa kami nyanyikan bersama. Di bangku taman
yang basah.
Aku
menduga – duga siapa yang ada di dalam mobil itu. tentang siapa, bagaimana dan
mengapa. Tapi tak ada yang pasti, semuanya sia – sia. Hingga hatiku menawarkan jawaban
yang pasti.
Aku
tak perlu tahu dan tak harus tahu..
Aku hanya berharap dalam hati, semoga itu
orang yang salah.
Singkat dan bikin penasaran.
BalasHapusAku suka, tapi ada beberapa ejaan kata yang keliru, atau sengaja renta menjadi rentah, mesra menjadi mesrah. Atau memang sengaja?
Kalau ditambah detail lagi penggambaran settingnya pasti lebih bagus.
Semangat menulissss!!! :)
Waduh, terima kasih, Mbak Dian atas komentarnya.
BalasHapusItu kesalahan penulis bukan disengaja :)
Akan segera diperbaiki :D
sukaaa :)
BalasHapusTerima kasih, Fathiya :)
BalasHapusdalemm...
BalasHapusini kisah penulisnya???
hehehe
Hehe..
HapusBukanlah, hanya imajinasi aja kok :D