31 Mar 2013

Ada Yang Merindukanmu


Ada yang merindukanmu
Di antara gerimis yang menangis
Dibalik tawa luka yang terlupa
Disela musik indah yang manja

Ada yang merindukanmu.
Di ujung jalan sepi yang kau lewati
Disetiap mata air yang mengalir
Diakhir senja yang gelisa

Ada yang merindukanmu.
Disusunan kata yang tak terbaca
Disetiap detik yang mengelitik

Ada yang merindukanmu
Dan akan selalu merindukanmu
Dan.. kau tak pernah tahu

13 Mar 2013

Dua Hari Yang Lalu


Sudah dua hari ini aku seperti orang gila. Seperti orang yang lupa siapa dirinya. Seperti tadi pagi. Tidak seperti biasanya Setelah bangun tidur aku langsung mencari handphoneku. Mengecek, siapa tahu ada pesan yang masuk di inbox. Seperti ucapan.. selamat pagi. Atau sejenisnya, yang membuat hari – hari menjadi indah.  Dan ternyata tidak ada. 
Tanpa sadar aku juga sering tersenyum sendiri. Entahlah, aku rasa… aku bisa gila. 

Mari kuberitahu yang sebenarnya terjadi. Sebelum banyak yang berpikir aku benar – benar gila.

Duduklah dengan manis. Bacalah cerita ini. Dan biarkan hatimu berjalan. Mengikuti debaran - debaran yang aku pun tak tahu apa artinya. Ini bukan tentang Romeo dan Juliet. Bukan juga tentang Adam dan Hawa. Ini tentang aku. Tentang dia. Tentang hujan yang mempertemukan kita.

Kuharap orang yang kumaksud tidak membacanya. Atau ia cukup berpura – pura saja kalu  tidak sedang membacanya. Bukankah berpura – pura itu membuatmu lebih banyak tahu, bukan?

Biarkan aku berhenti menulis sejenak. Aku ingin mengepakkan sayap – sayap imajinasiku. Membawa ingatanku terbang ke masa dimana kita bertemu. Tentang dua hari yang lalu. Hari dimana hujan dengan riang menyusun pertemuan kita. Pertemuan yang sederhana.
                                                                         

                                                       ****

Hari itu hujan kembali bertamu. Mempersembahkan baktinya kepada bumi. Aku dan beberapa orang lainnya berlarian mencari tempat berteduh. Sembari menunggu sebuah Bus datang menjemput para wajah – wajah yang sudah kelelahan.
Bulir – bulir lembut itu pecah satu per satu ketika beradu di atas kepalamu. Gemerciknya yang berisik menimbulkan notasi nada yang aku tak tahu terletak di kunci apa jika pada gitar.  Tanpa disengaja aku memperhatikanmu. Melihatmu tersenyum sambil menadahkan kedua tangan yang sedang menampung rintik – rintik hujan yang jatuh. Tanpa aku ketahui,  ternyata kau sangat peka jika sedang diamati. Saat kau melayangkan pandanganmu ke arahku, aku berpura – pura mengelap tubuhku yang sudah setengah basah dan melemparkan pandanganku ke arah jalan. Tenyata cara itu berhasil. 

Sebuah bus pun berhenti. Tepat di depan kita. Tapi isinya sudah penuh. Kau dan aku pun memutuskan untuk naik. Dan berdiri satu sama lain di batasi oleh seorang Bapak – bapak.
Sesekali aku mengarahkan pandanganku ke arahmu,  dan berakhir seperti biasa,  setelah kau melayangkan pandanganmu ke arahku. Aku berpura – pura lagi.

Sekitar lima belas menit berlalu. Para penumpang pun sudah banyak yang turun. Perlahan – lahan bangku yang sejak tadi penuh kini  ada yang kosong. Aku menunggumu untuk duduk terlebih dahulu, baru aku. Tapi, ternyata kau pun sama. Dan akhirnya, kita membiarkan bangku yang kosong itu terisih oleh orang lain.

Kita masih belum bersuara. Atau mungkin saling menungu ada yang bersuara?

Dan sekarang kau yang lebih banyak melayangkan pandanganmu ke arahku. Aku tahu. Aku juga bisa merasakan. Detak jantungmu itu terlalu cepat berdetak. Suaranya tak dapat kau sembunyikan. Karena Bapak – bapak yang menjadi tembok diantara kita sudah turun di sebuah persimpangan. 

Detik demi detik pun berlalu. Dua orang di kursi lain pun turun. Kali ini aku memulainya duluan. Dan aku sangat beruntung. Ternyata kau pengikut yang setia.
Aku bukanlah pengingat yang baik. aku lupa bagaimana awalnya kita bisa bercakap – cakap. Atau mungkin.. karena aku terlalu gugup?
Bus masih melaju dengan kecepatan yang orang berjalan pun mampu mendahului kita. Mungkin karena hujan. Atau karena sopir dan hujan sedang berkonspirasi? Ah.. sudalah. Sepertinya aku terlalu jauh meracau. Yang pasti, aku suka ketika sebuah lagu yang berjudul Mungkin nanti dari Peterpan tidak ia rubah seperti lagu – lagu sebelumnya.
Aku suka lagu itu diputar dengan volume yang keras. Karena disaat kita berbicara kau selalu mendekatkan wajahmu ke arahku. Bau parfummu itu.. bau yang aku suka. Bau itu seperti menempel di baju yang saat ini belum aku cuci.
Aku bukanlah pengingat yang baik. Tapi aku salah satu orang yang menyukai quotes yang kau katakan, “Tidak akan ada yang tahu pelangi itu berwarna atau tidak jika tanpa hujan” kau benar. Seperti untuk melihat matahari, kita harus melalui pagi. Aku suka kata - katamu.

Obrolan kita berlanjut. Tentang kuliah, tentang kampusku dan kampusmu, tentang musik, dan  tentang sebuah kesamaan. Aku yakin, Tuhan campur tangan dalam pertemuan kita ini dengan menurunkan hujan.

Detik itu pun, aku mulai tertarik..

Kita bertukar nomor handphone. 

Hampir saja aku memaki tengah malam. Aku terbangun gara - gara handphone buntutku  bergetar. Ternyata ia bergetar untuk menyampaikan pesan darimu. Aku tersenyum. Sudah lama sekali aku tidak mendapatkan ucapan selamat tidur.
Baru beberapa jam saja aku mendapatkan teman ngobrol yang asik. Seseorang yang mengajarkan aku tentang pengetahuan, tentang  hidup dan tentang bagaimana menertawakan hal – hal yang menyedihkan.
Kini aku mendapatkan ucapan selamat tidur. Ah.. aku takut hati ini bergetar lagi.

Masih banyak hal – hal yang tidak bisa aku utarakan lewat sebuah tulisan.
Aku hanya berharap: aku tidak sedang bermimpi. Itu saja !

6 Mar 2013

Ada Aristoteles Di Kepalaku


Aku menghempaskan tubuh ke kasur. Kulipat kedua tangan dan meletakkannya di bawa kepala. Menatap langit – langit di dalam kamarku, mencari sesuatu,  suatu jawaban atas pertanyaanku sendiri. Tapi yang kulihat hanyalah bayangan kosong.
Aku selalu berpikir, mengapa hubunganku dengan-Nya selalu di batasi oleh jarak.  Jarak yang aku sendiri tak pernah tahu, seberapa jauh. Tapi semua orang meyakini-Nya. Ia ada di sekitar ciptaan-Nya. Ia seperti angin, berhembus lembut, tak terlihat.Tapi,  Begitu mudah untuk dirasakan.
Sekali lagi aku bertanya, sampai kapan ia bersembunyi? Atau begitulah caranya untuk memata-mataiku.
Sejenak aku menarik nafas. Merenungkan hidup yang sudah kulewati, yang tertinggal di belakang. Sebelum akhirnya ada suara lembut yang berbisik, seperti ada yang bertanya padaku..
“Kau ragu dengan-Nya?”
“Menurutmu?”
“Sepertinya”
Aku terdiam. Aku tidak membenarkan perkataannya, tidak juga menyalahkannya. Aku hanya ragu!
Dan perdebatan itu benar – benar kami mulai..
“Bagaimana denganmu?”
“Aku percaya”
“Kau percaya Dia tak ada?”
“Bukan, aku percaya dia ada”
Sekali lagi aku diam. Mengapa ia percaya? Sedangkan aku pemilik tubuh bisa ragu.
“Bagaimana kau bisa percaya?”
“Kau tahu teori Abiogenesis?”
“Tentu !”
“Sesuatu yang tampak berasal dari sesuatu yang tak tampak”
“Tapi teori itu terbukti salah” tentu aku tahu,teori itu jelas – jelas salah. Aku pernah mempersentasikanya di kelas. Aku butuh waktu lama untuk menjawab pertanyaan teman – temanku, tentang  asal muasal kehidupan, tentang teori hidup, tentang siapa yang menciptakan kehidupan.
“Salah menurut ilmu sains, tapi benar menurut orang yang beriman”
“Kau berbicara tentang iman? Pintar sekali kau sekarang”
“Aku tidak pintar, aku hanya tidak ingin berpikir dangkal…..”
“Orang bepikiran dangkal tidak menarik, tidak penuh kejutan!” aku memotong pembicaraannya. Bukan tidak sopan, aku hanya bosan. Sudah ribuan kali aku mendengar perkataan itu dari Ibu. Sekarang aku harus mendengarnya lagi. Kurasa.. aku bisa gila.
Diantara kami memang tidak akan ada yang mau kalah. Aku berpikir dengan logika, sedangkan ia berpikir dengan hati. Seharusnya kami bersatu. Tapi.. ah, belum saatnya.
“Apakah aku menjengkelkan?” aku mengodanya.
“Jika kau menjengkelkan lantas aku apa? Kita berada dalam satu tubuh”
Sial. Semua ini gara – gara Aristoteles. Kenapa juga ia harus percaya dengan teori yang salah itu.
Kami terus – terusan berdebat. Tentang Inilah, tentang itulah. Benar ini dan benar itu. semuanya tentang membandingkan.
Sampai akhirnya sebuah seruan memanggilku. Kami kembali berdamai. Entahlah, setiap kali bertengkar aku selalu meminta maaf padanya. Padahal ia tidak pernah menyalahkanku.
Aku bangkit dari tempat tidurku. Antara percaya dan tidak percaya. Aku mengikuti kata hati..
Logikaku berjalan menuju suara – suara penyeruh itu, tentu aku tidak sendirian. Kini aku dituntun oleh hati.
Di tengah perjalanan hati berkata padaku. Tidak, ia tidak berkata. Ia hanya berbisik. Sangat pelan..
“Aku takut”
“Kenapa?” jawabku heran.
“Aku takut. Aku takut,  kalau aku bisa salah”
Aku tersenyum. tidak bermaksud mengejek, atau merasa menang. Aku hanya ingin berkata..
“Tenang..ada aku”

3 Mar 2013

Ruang Tunggu


Aku sedang duduk di kursi malas, tempat favoritku sewaktu dulu. Menikmati kenangan yang sedang mengalir deras dari setiap sudut  kamarku. Di tempat ini, aku bisa merasakan rasa sakit yang aku sendiri tak bisa memahaminya. Entalah. Sesakit apapun itu, sedalam apapun itu. aku masih bisa tersenyum jika berada di ruangan ini, mungkin karena aku merasa beruntung pernah hadir di tempat ini. Bagaimana denganmu, ada penyebab rasa sakit yang tak kau pahami?

Sudah lima tahun aku meninggalkannya, tapi tak ada yang berubah dari ruangan ini. Buku – buku yang sering aku baca masih tertata rapi, foster Muse masih tetap angkuh seperti sebelum aku tinggalkan. Foto – fotoku masih tersenyum di meja belajar, jam dindingku yang  berwarna merah masih berputar setiap detik mengitari dua belas angka, bantal, guling dan kasur semuanya masih seperti dulu… sebelum aku pergi.

Ternyata mereka benar - benar menunggu kepulanganku

Masihku ingat hari itu. hari pertama kali aku meninggalkan Ibu. Pertengkaranku dengan Ayah membuatku harus pergi jauh dari tempat favoritku, kamar ini, ruangan  ini. Mungkin aku yang salah, aku tidak terlalu dewasa menyikapi masalahku.
Ibu selalu bilang, “Besar atau kecilnya suatu masalah tergantung dengan sikap dan mental kita dalam menghadapinya”
Tapi mentalku terlalu kecil. Sedangkan masalah yang aku hadapi terlalu besar. 
Aku benci jika harus terbangun tengah malam hanya mendengar pertengkaran mereka yang meributkan hal yang itu – itu saja. Ibu mengajarkanku tentang menghadapi masalah, tapi ia sendiri harus mengorbankan diri sendiri demi sebuah masalah. Apakah dengan mengorbankan diri sendiri adalah cara yang tepat untuk menghadapi masalah bersama?
Jika itu benar, berarti aku sedang menghadapi masalahku. Aku memilih pergi.. sejauh mungkin. 
Aku hanya benci mendengar pertengkaran kalian. Aku benci mendengar kata “Dia bukan anakku” 


Aku benci suara Ayah !

Mataku terfokus pada sebuah lemari. Tempat aku menyimpan hal – hal berharga. Bukan, bukan sesuatu yang bernilai uang. Di dalamnya ada sebuah album foto diantara barang – barang berharga lainnya. Tapi bagiku itu lebi dari uang, ia tak ternilai. Ia diatas segalanya.
Kerinduan membawa kakiku mendekati lemari itu. perlahan – lahan aku membukanya. Aku tersentak. Butuh waktu yang cukup lama untuk aku bergumam dalam hati. 

Ternyata Ibu tidak membuangnya

Padahal aku lupa mengunci lemari ini sebelum aku pergi. Kini ia sudah di tanganku. Tak akan ada yang bisa membuangnya. Aku kembali duduk ke kursi malasku. Aku tersenyum. Kutatapi lekat – lekat album itu. Sudah lama sekali tidak melihanya. Butuh waktu lima menit bagiku untuk membuka setiap lembaran berikutnya. 

Ah..gadis ini. apakah wajanya masih sama seperti dulu?

Lembar demi lembar aku membukanya. Rambut panjangnya itu semoga selalu membingkai wajahnya. Alisnya yang tebal, bibirnya yang tipis, dagunya yang lancip..

Ah.. Lama sekali aku tidak melihanya.. 

Bukankah Ayah sudah membenciku, kenapa Ayah juga membenci wanita yang aku cintai? Setahuku cinta tidak akan mati diracuni oleh rasa benci. Cinta akan membebaskan hati untuk memilih. Seperti  aku. Aku juga membenci Ayah, tapi Ayah mencintai Ibuku. Aku tak ingin Ibu pergi dari orang yang ia cintai dan mencintainya. Walau bagaimana pun aku tidak pernah takut untuk dibenci oleh orang yang aku benci. Aku hanya takut, jika orang yang aku cintai dibenci karena aku, orang yang ia sayangi.

Tiba – tiba aku terjaga. Di luar tampak begitu ramai. Ramai sekali..
Apakah orang yang kutunggu sudah datang?     

 Diantara riuh rendah suara di luar sana, aku seperti mendengar suara gadis itu dan suara Ibu.
Mengapa mereka menangis?
Mengapa aku tak mendengar suara Ayah?

Kulemparkan pandanganku ke arah pintu kamar. Suara tangis itu semakin keras. Suara mereka masih  dominan dari suara lainnya. Suasana nyaman dalam ruangan ini seperti memaksaku untuk tetap di sini dan mengabaikan apa yang kudengar. Baru saja aku di sini. Baru saja aku mengisi ruangan kosong ini.
Ingin sekali aku mengabaikannya. Tapi aku sudah tak sabar lagi. Aku ingin tahu. Suara siapa di luar sana? mengapa ia menangis? Aku masih normal, aku tak mungkin berhalusinasi. Aku letakkan kembali album kenang – kenangan itu ketempatnya.

 Dan melangkah ke luar kamar.

Ternyata benar. Aku tidak sedang berhalusinasi. di ruangan itu sudah banyak orang. Ada sebagian yang aku kenal, ada juga yang tidak. Ibu menangis di pangkuan seorang gadis. Wajah Ibu sudah menua, tampaknya ia benar – benar sudah lelah. Permasalahan itu benar – benar mengerogoti batinnya. Begitu juga dengan gadis yang memeluknya, ia tampak berbeda. Tak seperti yang aku kenal dulu. Lekuk tubuhnya sudah tumbuh, menunjukkan bahwa ia benar – benar sudah dewasa.

Semuannya memang sudah berubah. Hanya aku yang tidak menyadarinya. 

Dan di sinilah aku sekarang. Berdiri diam. Kaku dan membisu. Menatap pilu kedua wanita yang aku cintai. Ibu dan gadis itu masih menangis senduh di depan peti. Air mata mengalir dari kelopak mata mereka  membasahi kornea. Aku tersenyum menatap ayah. Ia duduk santai diantara pembaca doa. Wajahnya kini telah berubah. Tampaknya Usia sudah menelan kesombongannya.
Jangan berpura – pura sedih.
Sekarang waktu untukku..
Bersiaplah untuk giliranmu..