Aku sedang duduk di kursi malas, tempat favoritku sewaktu
dulu. Menikmati kenangan yang sedang mengalir deras dari setiap sudut kamarku. Di tempat ini, aku bisa merasakan
rasa sakit yang aku sendiri tak bisa memahaminya. Entalah. Sesakit apapun itu,
sedalam apapun itu. aku masih bisa tersenyum jika berada di ruangan ini, mungkin
karena aku merasa beruntung pernah hadir di tempat ini. Bagaimana denganmu, ada penyebab rasa sakit yang tak kau pahami?
Sudah lima tahun aku meninggalkannya, tapi tak ada yang
berubah dari ruangan ini. Buku – buku yang sering aku baca masih tertata rapi,
foster Muse masih tetap angkuh seperti sebelum aku tinggalkan. Foto – fotoku
masih tersenyum di meja belajar, jam dindingku yang berwarna merah masih berputar setiap detik mengitari
dua belas angka, bantal, guling dan kasur semuanya masih seperti dulu… sebelum
aku pergi.
Ternyata mereka benar
- benar menunggu kepulanganku
Masihku ingat hari itu. hari pertama kali aku meninggalkan
Ibu. Pertengkaranku dengan Ayah membuatku harus pergi jauh dari tempat
favoritku, kamar ini, ruangan ini. Mungkin
aku yang salah, aku tidak terlalu dewasa menyikapi masalahku.
Ibu selalu
bilang, “Besar atau kecilnya suatu masalah tergantung dengan sikap dan mental
kita dalam menghadapinya”
Tapi mentalku terlalu kecil. Sedangkan masalah yang aku
hadapi terlalu besar.
Aku benci jika harus terbangun tengah malam hanya
mendengar pertengkaran mereka yang meributkan hal yang itu – itu saja. Ibu
mengajarkanku tentang menghadapi masalah, tapi ia sendiri harus mengorbankan
diri sendiri demi sebuah masalah. Apakah dengan mengorbankan diri sendiri
adalah cara yang tepat untuk menghadapi masalah bersama?
Jika itu benar, berarti aku sedang menghadapi masalahku. Aku
memilih pergi.. sejauh mungkin.
Aku hanya benci mendengar pertengkaran kalian. Aku
benci mendengar kata “Dia bukan anakku”
Aku benci suara Ayah !
Mataku terfokus pada sebuah lemari. Tempat aku menyimpan hal
– hal berharga. Bukan, bukan sesuatu yang bernilai uang. Di dalamnya ada sebuah
album foto diantara barang – barang berharga lainnya. Tapi bagiku itu lebi dari
uang, ia tak ternilai. Ia diatas segalanya.
Kerinduan membawa kakiku mendekati lemari itu. perlahan
– lahan aku membukanya. Aku tersentak. Butuh waktu yang cukup lama untuk aku
bergumam dalam hati.
Ternyata Ibu tidak
membuangnya
Padahal aku lupa mengunci lemari ini sebelum aku pergi. Kini
ia sudah di tanganku. Tak akan ada yang bisa membuangnya. Aku kembali duduk ke
kursi malasku. Aku tersenyum. Kutatapi lekat – lekat album itu. Sudah lama
sekali tidak melihanya. Butuh waktu lima menit bagiku untuk membuka setiap lembaran berikutnya.
Ah..gadis ini. apakah
wajanya masih sama seperti dulu?
Lembar demi lembar aku membukanya. Rambut panjangnya itu
semoga selalu membingkai wajahnya. Alisnya yang tebal, bibirnya yang tipis,
dagunya yang lancip..
Ah.. Lama sekali
aku tidak melihanya..
Bukankah Ayah sudah membenciku, kenapa Ayah juga membenci wanita
yang aku cintai? Setahuku cinta tidak akan mati diracuni oleh rasa benci. Cinta
akan membebaskan hati untuk memilih. Seperti
aku. Aku juga membenci Ayah, tapi Ayah mencintai Ibuku. Aku tak ingin
Ibu pergi dari orang yang ia cintai dan mencintainya. Walau bagaimana
pun aku tidak pernah takut untuk dibenci oleh orang yang aku benci. Aku hanya
takut, jika orang yang aku cintai dibenci karena aku, orang yang ia sayangi.
Tiba – tiba aku terjaga. Di luar tampak begitu ramai. Ramai sekali..
Apakah orang yang
kutunggu sudah datang?
Diantara riuh rendah
suara di luar sana, aku seperti mendengar suara gadis itu dan suara Ibu.
Mengapa mereka
menangis?
Mengapa aku tak
mendengar suara Ayah?
Kulemparkan pandanganku ke arah pintu kamar. Suara tangis
itu semakin keras. Suara mereka masih dominan dari
suara lainnya. Suasana nyaman dalam ruangan ini seperti memaksaku untuk tetap
di sini dan mengabaikan apa yang kudengar. Baru saja aku di sini. Baru saja aku
mengisi ruangan kosong ini.
Ingin sekali aku mengabaikannya. Tapi aku sudah tak
sabar lagi. Aku ingin tahu. Suara siapa di luar sana? mengapa ia menangis? Aku
masih normal, aku tak mungkin berhalusinasi. Aku letakkan kembali album kenang –
kenangan itu ketempatnya.
Dan melangkah ke luar kamar.
Ternyata benar. Aku tidak sedang berhalusinasi. di ruangan
itu sudah banyak orang. Ada sebagian yang aku kenal, ada juga yang tidak. Ibu
menangis di pangkuan seorang gadis. Wajah Ibu sudah menua, tampaknya ia benar –
benar sudah lelah. Permasalahan itu benar – benar mengerogoti batinnya. Begitu
juga dengan gadis yang memeluknya, ia tampak berbeda. Tak seperti yang aku
kenal dulu. Lekuk tubuhnya sudah tumbuh, menunjukkan bahwa ia benar – benar
sudah dewasa.
Semuannya memang
sudah berubah. Hanya aku yang tidak menyadarinya.
Dan di sinilah aku sekarang. Berdiri diam. Kaku dan membisu.
Menatap pilu kedua wanita yang aku cintai. Ibu dan gadis itu masih menangis
senduh di depan peti. Air mata mengalir dari kelopak mata mereka membasahi kornea. Aku tersenyum menatap ayah.
Ia duduk santai diantara pembaca doa. Wajahnya kini telah berubah. Tampaknya Usia
sudah menelan kesombongannya.
Jangan berpura – pura
sedih.
Sekarang waktu untukku..
Bersiaplah untuk
giliranmu..