Aku menghempaskan tubuh ke kasur. Kulipat kedua tangan dan
meletakkannya di bawa kepala. Menatap langit – langit di dalam kamarku, mencari
sesuatu, suatu jawaban atas pertanyaanku
sendiri. Tapi yang kulihat hanyalah bayangan kosong.
Aku selalu berpikir, mengapa hubunganku dengan-Nya selalu di
batasi oleh jarak. Jarak yang aku
sendiri tak pernah tahu, seberapa jauh. Tapi semua orang meyakini-Nya. Ia ada
di sekitar ciptaan-Nya. Ia seperti angin, berhembus lembut, tak
terlihat.Tapi, Begitu mudah untuk
dirasakan.
Sekali lagi aku bertanya, sampai kapan ia bersembunyi? Atau begitulah caranya untuk
memata-mataiku.
Sejenak aku menarik nafas. Merenungkan hidup yang sudah
kulewati, yang tertinggal di belakang. Sebelum akhirnya ada suara lembut yang
berbisik, seperti ada yang bertanya padaku..
“Kau ragu dengan-Nya?”
“Menurutmu?”
“Sepertinya”
Aku terdiam. Aku tidak membenarkan perkataannya, tidak juga
menyalahkannya. Aku hanya ragu!
Dan perdebatan itu benar – benar kami mulai..
“Bagaimana denganmu?”
“Aku percaya”
“Kau percaya Dia tak ada?”
“Bukan, aku percaya dia ada”
Sekali lagi aku diam. Mengapa ia percaya? Sedangkan aku
pemilik tubuh bisa ragu.
“Bagaimana kau bisa percaya?”
“Kau tahu teori Abiogenesis?”
“Tentu !”
“Sesuatu yang tampak berasal dari sesuatu yang tak tampak”
“Tapi teori itu terbukti salah” tentu aku tahu,teori itu
jelas – jelas salah. Aku pernah mempersentasikanya di kelas. Aku butuh waktu
lama untuk menjawab pertanyaan teman – temanku, tentang asal muasal kehidupan, tentang teori hidup,
tentang siapa yang menciptakan kehidupan.
“Salah menurut ilmu sains, tapi benar menurut orang yang
beriman”
“Kau berbicara tentang iman? Pintar sekali kau sekarang”
“Aku tidak pintar, aku hanya tidak ingin berpikir
dangkal…..”
“Orang bepikiran dangkal tidak menarik, tidak penuh kejutan!”
aku memotong pembicaraannya. Bukan tidak sopan, aku hanya bosan. Sudah ribuan
kali aku mendengar perkataan itu dari Ibu. Sekarang aku harus mendengarnya
lagi. Kurasa.. aku bisa gila.
Diantara kami memang tidak akan ada yang mau kalah. Aku
berpikir dengan logika, sedangkan ia berpikir dengan hati. Seharusnya kami
bersatu. Tapi.. ah, belum saatnya.
“Apakah aku menjengkelkan?” aku mengodanya.
“Jika kau menjengkelkan lantas aku apa? Kita berada dalam
satu tubuh”
Sial. Semua ini gara – gara Aristoteles. Kenapa juga ia
harus percaya dengan teori yang salah itu.
Kami terus – terusan berdebat. Tentang Inilah, tentang
itulah. Benar ini dan benar itu. semuanya tentang membandingkan.
Sampai akhirnya sebuah seruan memanggilku. Kami kembali
berdamai. Entahlah, setiap kali bertengkar aku selalu meminta maaf padanya.
Padahal ia tidak pernah menyalahkanku.
Aku bangkit dari tempat tidurku. Antara percaya dan tidak
percaya. Aku mengikuti kata hati..
Logikaku berjalan menuju suara – suara penyeruh itu, tentu
aku tidak sendirian. Kini aku dituntun oleh hati.
Di tengah perjalanan hati berkata padaku. Tidak, ia tidak
berkata. Ia hanya berbisik. Sangat pelan..
“Aku takut”
“Kenapa?” jawabku heran.
“Aku takut. Aku takut, kalau aku bisa salah”
Aku tersenyum. tidak bermaksud mengejek, atau merasa menang.
Aku hanya ingin berkata..
“Tenang..ada aku”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mau komentar?
Boleh.. boleh.. boleh !