6 Mar 2013

Ada Aristoteles Di Kepalaku


Aku menghempaskan tubuh ke kasur. Kulipat kedua tangan dan meletakkannya di bawa kepala. Menatap langit – langit di dalam kamarku, mencari sesuatu,  suatu jawaban atas pertanyaanku sendiri. Tapi yang kulihat hanyalah bayangan kosong.
Aku selalu berpikir, mengapa hubunganku dengan-Nya selalu di batasi oleh jarak.  Jarak yang aku sendiri tak pernah tahu, seberapa jauh. Tapi semua orang meyakini-Nya. Ia ada di sekitar ciptaan-Nya. Ia seperti angin, berhembus lembut, tak terlihat.Tapi,  Begitu mudah untuk dirasakan.
Sekali lagi aku bertanya, sampai kapan ia bersembunyi? Atau begitulah caranya untuk memata-mataiku.
Sejenak aku menarik nafas. Merenungkan hidup yang sudah kulewati, yang tertinggal di belakang. Sebelum akhirnya ada suara lembut yang berbisik, seperti ada yang bertanya padaku..
“Kau ragu dengan-Nya?”
“Menurutmu?”
“Sepertinya”
Aku terdiam. Aku tidak membenarkan perkataannya, tidak juga menyalahkannya. Aku hanya ragu!
Dan perdebatan itu benar – benar kami mulai..
“Bagaimana denganmu?”
“Aku percaya”
“Kau percaya Dia tak ada?”
“Bukan, aku percaya dia ada”
Sekali lagi aku diam. Mengapa ia percaya? Sedangkan aku pemilik tubuh bisa ragu.
“Bagaimana kau bisa percaya?”
“Kau tahu teori Abiogenesis?”
“Tentu !”
“Sesuatu yang tampak berasal dari sesuatu yang tak tampak”
“Tapi teori itu terbukti salah” tentu aku tahu,teori itu jelas – jelas salah. Aku pernah mempersentasikanya di kelas. Aku butuh waktu lama untuk menjawab pertanyaan teman – temanku, tentang  asal muasal kehidupan, tentang teori hidup, tentang siapa yang menciptakan kehidupan.
“Salah menurut ilmu sains, tapi benar menurut orang yang beriman”
“Kau berbicara tentang iman? Pintar sekali kau sekarang”
“Aku tidak pintar, aku hanya tidak ingin berpikir dangkal…..”
“Orang bepikiran dangkal tidak menarik, tidak penuh kejutan!” aku memotong pembicaraannya. Bukan tidak sopan, aku hanya bosan. Sudah ribuan kali aku mendengar perkataan itu dari Ibu. Sekarang aku harus mendengarnya lagi. Kurasa.. aku bisa gila.
Diantara kami memang tidak akan ada yang mau kalah. Aku berpikir dengan logika, sedangkan ia berpikir dengan hati. Seharusnya kami bersatu. Tapi.. ah, belum saatnya.
“Apakah aku menjengkelkan?” aku mengodanya.
“Jika kau menjengkelkan lantas aku apa? Kita berada dalam satu tubuh”
Sial. Semua ini gara – gara Aristoteles. Kenapa juga ia harus percaya dengan teori yang salah itu.
Kami terus – terusan berdebat. Tentang Inilah, tentang itulah. Benar ini dan benar itu. semuanya tentang membandingkan.
Sampai akhirnya sebuah seruan memanggilku. Kami kembali berdamai. Entahlah, setiap kali bertengkar aku selalu meminta maaf padanya. Padahal ia tidak pernah menyalahkanku.
Aku bangkit dari tempat tidurku. Antara percaya dan tidak percaya. Aku mengikuti kata hati..
Logikaku berjalan menuju suara – suara penyeruh itu, tentu aku tidak sendirian. Kini aku dituntun oleh hati.
Di tengah perjalanan hati berkata padaku. Tidak, ia tidak berkata. Ia hanya berbisik. Sangat pelan..
“Aku takut”
“Kenapa?” jawabku heran.
“Aku takut. Aku takut,  kalau aku bisa salah”
Aku tersenyum. tidak bermaksud mengejek, atau merasa menang. Aku hanya ingin berkata..
“Tenang..ada aku”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mau komentar?
Boleh.. boleh.. boleh !