Sudah dua hari ini aku seperti orang gila. Seperti orang yang
lupa siapa dirinya. Seperti tadi pagi. Tidak seperti biasanya Setelah bangun
tidur aku langsung mencari handphoneku. Mengecek, siapa tahu ada pesan yang
masuk di inbox. Seperti ucapan.. selamat pagi. Atau sejenisnya, yang membuat hari –
hari menjadi indah. Dan ternyata tidak
ada.
Tanpa sadar aku juga sering tersenyum sendiri. Entahlah, aku rasa… aku
bisa gila.
Mari kuberitahu yang sebenarnya terjadi. Sebelum banyak yang
berpikir aku benar – benar gila.
Duduklah dengan manis. Bacalah cerita ini. Dan biarkan
hatimu berjalan. Mengikuti debaran - debaran yang aku pun tak tahu apa artinya. Ini bukan
tentang Romeo dan Juliet. Bukan juga tentang Adam dan Hawa. Ini tentang aku.
Tentang dia. Tentang hujan yang mempertemukan kita.
Kuharap orang yang kumaksud tidak membacanya. Atau ia cukup
berpura – pura saja kalu tidak sedang membacanya.
Bukankah berpura – pura itu membuatmu lebih banyak tahu, bukan?
Biarkan aku berhenti menulis sejenak. Aku ingin mengepakkan
sayap – sayap imajinasiku. Membawa ingatanku terbang ke masa dimana kita
bertemu. Tentang dua hari yang lalu. Hari dimana hujan dengan riang menyusun
pertemuan kita. Pertemuan yang sederhana.
****
Hari itu hujan kembali bertamu. Mempersembahkan baktinya
kepada bumi. Aku dan beberapa orang lainnya berlarian mencari tempat berteduh.
Sembari menunggu sebuah Bus datang menjemput para wajah – wajah yang sudah kelelahan.
Bulir – bulir lembut itu pecah satu per satu ketika beradu
di atas kepalamu. Gemerciknya yang berisik menimbulkan notasi nada yang aku tak
tahu terletak di kunci apa jika pada gitar.
Tanpa disengaja aku memperhatikanmu. Melihatmu tersenyum sambil
menadahkan kedua tangan yang sedang menampung rintik – rintik hujan yang jatuh.
Tanpa aku ketahui, ternyata kau sangat peka jika sedang diamati. Saat kau
melayangkan pandanganmu ke arahku, aku berpura – pura mengelap tubuhku yang
sudah setengah basah dan melemparkan pandanganku ke arah jalan. Tenyata cara
itu berhasil.
Sebuah bus pun berhenti. Tepat di depan kita. Tapi isinya
sudah penuh. Kau dan aku pun memutuskan untuk naik. Dan berdiri satu sama lain
di batasi oleh seorang Bapak – bapak.
Sesekali aku mengarahkan pandanganku ke
arahmu, dan berakhir seperti biasa, setelah kau melayangkan pandanganmu ke arahku.
Aku berpura – pura lagi.
Sekitar lima belas menit berlalu. Para penumpang pun sudah
banyak yang turun. Perlahan – lahan bangku yang sejak tadi penuh kini ada yang kosong. Aku menunggumu untuk duduk
terlebih dahulu, baru aku. Tapi, ternyata kau pun sama. Dan akhirnya, kita
membiarkan bangku yang kosong itu terisih oleh orang lain.
Kita masih belum bersuara. Atau mungkin saling menungu ada
yang bersuara?
Dan sekarang kau yang
lebih banyak melayangkan pandanganmu ke arahku. Aku tahu. Aku juga bisa
merasakan. Detak jantungmu itu terlalu cepat berdetak. Suaranya tak dapat kau
sembunyikan. Karena Bapak – bapak yang menjadi tembok diantara kita sudah turun
di sebuah persimpangan.
Detik demi detik pun berlalu. Dua orang di kursi lain pun
turun. Kali ini aku memulainya duluan. Dan aku sangat beruntung. Ternyata kau
pengikut yang setia.
Aku bukanlah pengingat yang baik. aku lupa bagaimana awalnya
kita bisa bercakap – cakap. Atau mungkin.. karena aku terlalu gugup?
Bus masih melaju dengan kecepatan yang orang berjalan pun
mampu mendahului kita. Mungkin karena hujan. Atau karena sopir dan hujan sedang
berkonspirasi? Ah.. sudalah. Sepertinya aku terlalu jauh meracau. Yang pasti,
aku suka ketika sebuah lagu yang berjudul Mungkin nanti dari Peterpan tidak ia
rubah seperti lagu – lagu sebelumnya.
Aku suka lagu itu diputar dengan volume yang keras. Karena disaat kita berbicara kau selalu mendekatkan wajahmu ke arahku. Bau parfummu itu.. bau yang aku suka. Bau itu seperti menempel di baju yang saat ini belum aku cuci.
Aku bukanlah pengingat yang baik. Tapi aku salah satu orang
yang menyukai quotes yang kau katakan, “Tidak akan ada yang tahu pelangi itu
berwarna atau tidak jika tanpa hujan” kau benar. Seperti untuk melihat
matahari, kita harus melalui pagi. Aku suka kata - katamu.
Obrolan kita berlanjut. Tentang kuliah, tentang kampusku dan kampusmu, tentang musik, dan tentang sebuah kesamaan. Aku yakin, Tuhan campur
tangan dalam pertemuan kita ini dengan menurunkan hujan.
Detik itu pun, aku
mulai tertarik..
Kita bertukar nomor handphone.
Hampir saja aku memaki tengah malam. Aku terbangun gara -
gara handphone buntutku bergetar.
Ternyata ia bergetar untuk menyampaikan pesan darimu. Aku tersenyum. Sudah lama
sekali aku tidak mendapatkan ucapan selamat tidur.
Baru beberapa jam saja aku mendapatkan teman ngobrol yang
asik. Seseorang yang mengajarkan aku tentang pengetahuan, tentang hidup dan tentang bagaimana menertawakan hal
– hal yang menyedihkan.
Kini aku mendapatkan ucapan selamat tidur. Ah.. aku
takut hati ini bergetar lagi.
Masih banyak hal – hal yang tidak bisa aku utarakan lewat
sebuah tulisan.
Aku hanya berharap: aku tidak sedang bermimpi. Itu saja !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mau komentar?
Boleh.. boleh.. boleh !