13 Mar 2013

Dua Hari Yang Lalu


Sudah dua hari ini aku seperti orang gila. Seperti orang yang lupa siapa dirinya. Seperti tadi pagi. Tidak seperti biasanya Setelah bangun tidur aku langsung mencari handphoneku. Mengecek, siapa tahu ada pesan yang masuk di inbox. Seperti ucapan.. selamat pagi. Atau sejenisnya, yang membuat hari – hari menjadi indah.  Dan ternyata tidak ada. 
Tanpa sadar aku juga sering tersenyum sendiri. Entahlah, aku rasa… aku bisa gila. 

Mari kuberitahu yang sebenarnya terjadi. Sebelum banyak yang berpikir aku benar – benar gila.

Duduklah dengan manis. Bacalah cerita ini. Dan biarkan hatimu berjalan. Mengikuti debaran - debaran yang aku pun tak tahu apa artinya. Ini bukan tentang Romeo dan Juliet. Bukan juga tentang Adam dan Hawa. Ini tentang aku. Tentang dia. Tentang hujan yang mempertemukan kita.

Kuharap orang yang kumaksud tidak membacanya. Atau ia cukup berpura – pura saja kalu  tidak sedang membacanya. Bukankah berpura – pura itu membuatmu lebih banyak tahu, bukan?

Biarkan aku berhenti menulis sejenak. Aku ingin mengepakkan sayap – sayap imajinasiku. Membawa ingatanku terbang ke masa dimana kita bertemu. Tentang dua hari yang lalu. Hari dimana hujan dengan riang menyusun pertemuan kita. Pertemuan yang sederhana.
                                                                         

                                                       ****

Hari itu hujan kembali bertamu. Mempersembahkan baktinya kepada bumi. Aku dan beberapa orang lainnya berlarian mencari tempat berteduh. Sembari menunggu sebuah Bus datang menjemput para wajah – wajah yang sudah kelelahan.
Bulir – bulir lembut itu pecah satu per satu ketika beradu di atas kepalamu. Gemerciknya yang berisik menimbulkan notasi nada yang aku tak tahu terletak di kunci apa jika pada gitar.  Tanpa disengaja aku memperhatikanmu. Melihatmu tersenyum sambil menadahkan kedua tangan yang sedang menampung rintik – rintik hujan yang jatuh. Tanpa aku ketahui,  ternyata kau sangat peka jika sedang diamati. Saat kau melayangkan pandanganmu ke arahku, aku berpura – pura mengelap tubuhku yang sudah setengah basah dan melemparkan pandanganku ke arah jalan. Tenyata cara itu berhasil. 

Sebuah bus pun berhenti. Tepat di depan kita. Tapi isinya sudah penuh. Kau dan aku pun memutuskan untuk naik. Dan berdiri satu sama lain di batasi oleh seorang Bapak – bapak.
Sesekali aku mengarahkan pandanganku ke arahmu,  dan berakhir seperti biasa,  setelah kau melayangkan pandanganmu ke arahku. Aku berpura – pura lagi.

Sekitar lima belas menit berlalu. Para penumpang pun sudah banyak yang turun. Perlahan – lahan bangku yang sejak tadi penuh kini  ada yang kosong. Aku menunggumu untuk duduk terlebih dahulu, baru aku. Tapi, ternyata kau pun sama. Dan akhirnya, kita membiarkan bangku yang kosong itu terisih oleh orang lain.

Kita masih belum bersuara. Atau mungkin saling menungu ada yang bersuara?

Dan sekarang kau yang lebih banyak melayangkan pandanganmu ke arahku. Aku tahu. Aku juga bisa merasakan. Detak jantungmu itu terlalu cepat berdetak. Suaranya tak dapat kau sembunyikan. Karena Bapak – bapak yang menjadi tembok diantara kita sudah turun di sebuah persimpangan. 

Detik demi detik pun berlalu. Dua orang di kursi lain pun turun. Kali ini aku memulainya duluan. Dan aku sangat beruntung. Ternyata kau pengikut yang setia.
Aku bukanlah pengingat yang baik. aku lupa bagaimana awalnya kita bisa bercakap – cakap. Atau mungkin.. karena aku terlalu gugup?
Bus masih melaju dengan kecepatan yang orang berjalan pun mampu mendahului kita. Mungkin karena hujan. Atau karena sopir dan hujan sedang berkonspirasi? Ah.. sudalah. Sepertinya aku terlalu jauh meracau. Yang pasti, aku suka ketika sebuah lagu yang berjudul Mungkin nanti dari Peterpan tidak ia rubah seperti lagu – lagu sebelumnya.
Aku suka lagu itu diputar dengan volume yang keras. Karena disaat kita berbicara kau selalu mendekatkan wajahmu ke arahku. Bau parfummu itu.. bau yang aku suka. Bau itu seperti menempel di baju yang saat ini belum aku cuci.
Aku bukanlah pengingat yang baik. Tapi aku salah satu orang yang menyukai quotes yang kau katakan, “Tidak akan ada yang tahu pelangi itu berwarna atau tidak jika tanpa hujan” kau benar. Seperti untuk melihat matahari, kita harus melalui pagi. Aku suka kata - katamu.

Obrolan kita berlanjut. Tentang kuliah, tentang kampusku dan kampusmu, tentang musik, dan  tentang sebuah kesamaan. Aku yakin, Tuhan campur tangan dalam pertemuan kita ini dengan menurunkan hujan.

Detik itu pun, aku mulai tertarik..

Kita bertukar nomor handphone. 

Hampir saja aku memaki tengah malam. Aku terbangun gara - gara handphone buntutku  bergetar. Ternyata ia bergetar untuk menyampaikan pesan darimu. Aku tersenyum. Sudah lama sekali aku tidak mendapatkan ucapan selamat tidur.
Baru beberapa jam saja aku mendapatkan teman ngobrol yang asik. Seseorang yang mengajarkan aku tentang pengetahuan, tentang  hidup dan tentang bagaimana menertawakan hal – hal yang menyedihkan.
Kini aku mendapatkan ucapan selamat tidur. Ah.. aku takut hati ini bergetar lagi.

Masih banyak hal – hal yang tidak bisa aku utarakan lewat sebuah tulisan.
Aku hanya berharap: aku tidak sedang bermimpi. Itu saja !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mau komentar?
Boleh.. boleh.. boleh !