3 Mar 2013

Ruang Tunggu


Aku sedang duduk di kursi malas, tempat favoritku sewaktu dulu. Menikmati kenangan yang sedang mengalir deras dari setiap sudut  kamarku. Di tempat ini, aku bisa merasakan rasa sakit yang aku sendiri tak bisa memahaminya. Entalah. Sesakit apapun itu, sedalam apapun itu. aku masih bisa tersenyum jika berada di ruangan ini, mungkin karena aku merasa beruntung pernah hadir di tempat ini. Bagaimana denganmu, ada penyebab rasa sakit yang tak kau pahami?

Sudah lima tahun aku meninggalkannya, tapi tak ada yang berubah dari ruangan ini. Buku – buku yang sering aku baca masih tertata rapi, foster Muse masih tetap angkuh seperti sebelum aku tinggalkan. Foto – fotoku masih tersenyum di meja belajar, jam dindingku yang  berwarna merah masih berputar setiap detik mengitari dua belas angka, bantal, guling dan kasur semuanya masih seperti dulu… sebelum aku pergi.

Ternyata mereka benar - benar menunggu kepulanganku

Masihku ingat hari itu. hari pertama kali aku meninggalkan Ibu. Pertengkaranku dengan Ayah membuatku harus pergi jauh dari tempat favoritku, kamar ini, ruangan  ini. Mungkin aku yang salah, aku tidak terlalu dewasa menyikapi masalahku.
Ibu selalu bilang, “Besar atau kecilnya suatu masalah tergantung dengan sikap dan mental kita dalam menghadapinya”
Tapi mentalku terlalu kecil. Sedangkan masalah yang aku hadapi terlalu besar. 
Aku benci jika harus terbangun tengah malam hanya mendengar pertengkaran mereka yang meributkan hal yang itu – itu saja. Ibu mengajarkanku tentang menghadapi masalah, tapi ia sendiri harus mengorbankan diri sendiri demi sebuah masalah. Apakah dengan mengorbankan diri sendiri adalah cara yang tepat untuk menghadapi masalah bersama?
Jika itu benar, berarti aku sedang menghadapi masalahku. Aku memilih pergi.. sejauh mungkin. 
Aku hanya benci mendengar pertengkaran kalian. Aku benci mendengar kata “Dia bukan anakku” 


Aku benci suara Ayah !

Mataku terfokus pada sebuah lemari. Tempat aku menyimpan hal – hal berharga. Bukan, bukan sesuatu yang bernilai uang. Di dalamnya ada sebuah album foto diantara barang – barang berharga lainnya. Tapi bagiku itu lebi dari uang, ia tak ternilai. Ia diatas segalanya.
Kerinduan membawa kakiku mendekati lemari itu. perlahan – lahan aku membukanya. Aku tersentak. Butuh waktu yang cukup lama untuk aku bergumam dalam hati. 

Ternyata Ibu tidak membuangnya

Padahal aku lupa mengunci lemari ini sebelum aku pergi. Kini ia sudah di tanganku. Tak akan ada yang bisa membuangnya. Aku kembali duduk ke kursi malasku. Aku tersenyum. Kutatapi lekat – lekat album itu. Sudah lama sekali tidak melihanya. Butuh waktu lima menit bagiku untuk membuka setiap lembaran berikutnya. 

Ah..gadis ini. apakah wajanya masih sama seperti dulu?

Lembar demi lembar aku membukanya. Rambut panjangnya itu semoga selalu membingkai wajahnya. Alisnya yang tebal, bibirnya yang tipis, dagunya yang lancip..

Ah.. Lama sekali aku tidak melihanya.. 

Bukankah Ayah sudah membenciku, kenapa Ayah juga membenci wanita yang aku cintai? Setahuku cinta tidak akan mati diracuni oleh rasa benci. Cinta akan membebaskan hati untuk memilih. Seperti  aku. Aku juga membenci Ayah, tapi Ayah mencintai Ibuku. Aku tak ingin Ibu pergi dari orang yang ia cintai dan mencintainya. Walau bagaimana pun aku tidak pernah takut untuk dibenci oleh orang yang aku benci. Aku hanya takut, jika orang yang aku cintai dibenci karena aku, orang yang ia sayangi.

Tiba – tiba aku terjaga. Di luar tampak begitu ramai. Ramai sekali..
Apakah orang yang kutunggu sudah datang?     

 Diantara riuh rendah suara di luar sana, aku seperti mendengar suara gadis itu dan suara Ibu.
Mengapa mereka menangis?
Mengapa aku tak mendengar suara Ayah?

Kulemparkan pandanganku ke arah pintu kamar. Suara tangis itu semakin keras. Suara mereka masih  dominan dari suara lainnya. Suasana nyaman dalam ruangan ini seperti memaksaku untuk tetap di sini dan mengabaikan apa yang kudengar. Baru saja aku di sini. Baru saja aku mengisi ruangan kosong ini.
Ingin sekali aku mengabaikannya. Tapi aku sudah tak sabar lagi. Aku ingin tahu. Suara siapa di luar sana? mengapa ia menangis? Aku masih normal, aku tak mungkin berhalusinasi. Aku letakkan kembali album kenang – kenangan itu ketempatnya.

 Dan melangkah ke luar kamar.

Ternyata benar. Aku tidak sedang berhalusinasi. di ruangan itu sudah banyak orang. Ada sebagian yang aku kenal, ada juga yang tidak. Ibu menangis di pangkuan seorang gadis. Wajah Ibu sudah menua, tampaknya ia benar – benar sudah lelah. Permasalahan itu benar – benar mengerogoti batinnya. Begitu juga dengan gadis yang memeluknya, ia tampak berbeda. Tak seperti yang aku kenal dulu. Lekuk tubuhnya sudah tumbuh, menunjukkan bahwa ia benar – benar sudah dewasa.

Semuannya memang sudah berubah. Hanya aku yang tidak menyadarinya. 

Dan di sinilah aku sekarang. Berdiri diam. Kaku dan membisu. Menatap pilu kedua wanita yang aku cintai. Ibu dan gadis itu masih menangis senduh di depan peti. Air mata mengalir dari kelopak mata mereka  membasahi kornea. Aku tersenyum menatap ayah. Ia duduk santai diantara pembaca doa. Wajahnya kini telah berubah. Tampaknya Usia sudah menelan kesombongannya.
Jangan berpura – pura sedih.
Sekarang waktu untukku..
Bersiaplah untuk giliranmu..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mau komentar?
Boleh.. boleh.. boleh !